Selasa, 05 Februari 2013

Bang Idin, pendekar Sungai Pesanggrahan




Chaerudin alias Bang Idin berhasil menghijaukan kembali bantaran Sungai Pesanggrahan di kawasan Karang Tengah, Jakarta Selatan, yang sebelumnya tercemar akibat sampah.

Aroma tanah yang menyeruap setelah diguyur gerimis, desahan dedaunan pohon bambu yang saling bersentuhan, serta bunyi "kwek, kwek, kwek…" yang saling menyaut dari mulut belasan itik peliharaannya, langsung menyergap saat saya melangkah pelan ke halaman rumahnya -- yang tidak berpagar.

Siang itu, mengenakan kaos gelap, peci merah marun, serta celana tradisional Betawi, Chaerudin alias Bang Idin, terlihat terlelap di bangunan kayu semi permanen, tidak jauh dari rumah induknya. Dia terlihat letih.

Tatkala saya ucapkan salam, angin semilir tiba-tiba berhembus dari arah Sungai Pesanggrahan -- yang di sepanjang bibirnya ditumbuhi antara lain pohon bambu, sukun, melinjo, rambutan, tanjung, belimbing wuluh, atau nangka, yang merupakan hasil keringat Bang Idin setidaknya dalam 15 tahun terakhir.

Sempat terlintas di benak saya, bahwa tempat ini bukanlah di Jakarta.

“Wa’alaikum salam,” jawabnya, pelan, membuyarkan lamunan saya. Dia kemudian bercerita baru saja selesai “bekerja” dari kebun miliknya. Siang itu jarum jam menunjuk angka sebelas.

Berjarak sekitar empat kilometer dari hiruk-pikuk Terminal Lebak Bulus, di sudut selatan Jakarta, kediaman Bang Idin, kelahiran 13 April 1956, mirip "dunia lain".

Bahkan, dibanding model bangunan rumah para tetangganya di kampung Karang Tengah, yang rata-rata terbuat dari beton, struktur bangunan rumahnya terbuat dari bambu dan kayu – yang diperolehnya dari pohon bambu yang ditanamnya sendiri belasan tahun silam, di pinggiran sungai Pesanggrahan dan lokasi lainnya.

Hutan kota di kawasan bantaran sungai Pesanggrahan di Kampung Tengah, Jakarta Selatan, yang dulu dijadikan tempat pembuangan sampah

Berawal dari kesal
Melihat langsung kehadiran puluhan ribu pohon di pinggiran Sungai Pesanggrahan, yang ditanam Bang Idin dan kawan-kawannya, saya siang itu membayangkan ketika tumpukan sampah beraroma busuk masih menggunung di kawasan itu, lebih dari 15 tahun silam.

Hutan kota di kawasan bantaran sungai Pesanggrahan di Kampung Tengah, Jakarta Selatan, yang dulu dijadikan tempat pembuangan sampah.

Saya membayangkan pula, faktor apa yang menggerakkan hati lelaki asli Betawi ini bekerja keras -- seorang diri, awalnya! -- untuk menyelamatkan kali yang menjadi tempatnya bermain di masa kecil itu.

“Latar belakangnya kesel. Tapi bukan berarti ngomel-ngomel atau marah-marah,” ungkap Haji Chaerudin, membuka kisah, dalam wawancara yang ditingkahi hujan gerimis.

Dia mengaku sangat kesal, sungai yang merupakan tempat bermainnya di masa kecil itu rusak parah di tahun 1980-an.

Sampah bertebaran di sepanjang bantaran yang tandus atau di aliran sungai yang warnanya kehitaman, begitulah yang dia saksikan, seiring pembangunan perumahan mewah tidak jauh dari aliran sungai tersebut.

“Itu awal kesel-nya,” akunya.

Saya lihat rumah dibangun membelakangi sungai. Dan, sungai dijadikan tempat pembuangan sampah... Jadi tidak ada lagi cerita di jaman kerajaan dulu, yang menyebutkan bahwa ‘jangan suka mengotori sungai karena sungai tempat mengenal Tuhan’.
Cercaan dan hinaan acap dialami Bang Idin ketika pertama kali membersihkan bantaran Sungai Pesanggrahan dari tumpukan sampah
Berangkat dari rasa kesal itulah, Chaerudin lantas melontarkan protes. “Tetapi, protesnya bukan ke bundaran Hotel Indonesia, lalu teriak-teriak,” katanya, dengan agak tergelak.

‘Kemarahan’ itu dia awali dengan jalan kaki dan naik rakit seorang diri menyusuri Sungai Pesanggrahan dari hulunya, yaitu di Gunung Pangrango, hingga ke muaranya di kawasan utara Jakarta – sejauh kira-kira 136 kilometer.

Apa yang Anda saksikan di sepanjang perjalanan itu? “Saya lihat rumah dibangun membelakangi sungai. Dan, sungai dijadikan tempat pembuangan sampah,” katanya, mulai mengenang.

Dalam perjalanan itu, dia juga rajin mencatat pepohonan, ikan-ikan jenis apa, serta satwa apa saja yang hilang akibat perilaku manusia.

Dengan nada agak masygul, Bang Idin kemudian membandingkan kenyataan pahit di sepanjang sungai itu dengan nilai-nilai tradisi yang dulu dihayati warga yang turun-temurun tinggal di pinggiran Sungai Pesanggrahan.

“Jadi tidak ada lagi cerita di jaman kerajaan dulu, yang menyebutkan bahwa ‘jangan suka mengotori sungai karena sungai tempat mengenal Tuhan’….”

Sepulang dari perjalanan ‘protes’ itu, Bang Idin -- yang mengaku cuma jebolan klas empat sekolah dasar -- lantas melakukan hal yang paling sederhana, yaitu mengangkut sampah dari aliran sungai dan bantarannya ke tempat pembuangan sampah.

Kepada Heyder Affan, Bang Idin mengaku selalu mengenakan kostim tradisional Betawi, karena itulah jati dirinya
Cercaan dan hinaan acap dialami Bang Idin ketika pertama kali membersihkan bantaran Sungai Pesanggrahan dari tumpukan sampah.

“(Dari) hari, (ke) bulan, bagaimana saya mengangkat sampah dari sungai ke darat, bagaimana mengkoordinir orang-orang (agar) jangan membuang sampah ke sungai”, ungkap pengagum tokoh Bima dalam kisah pewayangan serta sosok Si Pitung, tokoh yang dihormati warga Betawi.

Dalam perjalanannya, bisa ditebak, ayah dua anak ini mengalami berbagai kendala dan cobaan yang tidak gampang dilalui.

Kepada saya, Chaerudin lantas mencontohkan sebuah pengalaman yang membekas sampai sekarang, yaitu ketika dia menghadapi seorang pejabat yang tinggal di komplek perumahan mewah di dekat bibir Sungai Pesanggrahan.

Dia menggambarkan orang ini suka membuang sampah sembarangan, walaupun berulangkali dinasihati.

Bukan hanya perubahan fisik, tetapi juga secara kejiwaan... Setiap sore orang kumpul di sini. Bayangin saja, si mpok kumpul, pada nyuapin anaknya, setiap sore ibu-ibu pada jalan-jalan, ‘kan ini silaturrahmi, pertemuan.

Pemilik rumah mewah itu akhirnya tersinggung, ketika berulangkali diingatkan agar tidak membuang sampah di bantaran sungai.

“Dia membentak saya: siapa kamu! Saya kelompok tani, pak. Siapa suruh kamu? Nggak ada yangnyuruh. Dari mana kamu SK (surat keputusan)-nya?" Mata saya langsung menyala, dan saya bilang: "SK saya dari langit!” ungkap Bang Idin, mengulang lagi materi percakapannya dengan pemilik rumah tersebut.

Tidak puas, esoknya Chaerudin meletakkan sejumlah kantong sampah di pagar rumah orang tersebut.

“Supaya mereka paham, bagaimana rasanya ada sampah di depan hidungnya”.

Dalam perjalanannya, Bang Idin dan kawan-kawannya mulai mengusahakan bibit (yang didapat dari berbagai pihak) pohon-pohon yang cocok ditanam di pinggiran sungai, dan kemudian menanamnya secara berkelanjutan – hingga sekarang.

Dia juga berhasil meyakinkan warga setempat untuk membawa bibit pohon dan menanamnya secara bersama-sama.
Sang Jawara

Dalam wawancara dengan berbagai media, termasuk dengan saya, Bang Idin selalu menyebut dirinya sebagai “sang jawara”.

Kepada Heyder Affan, Bang Idin mengaku selalu mengenakan kostim tradisional Betawi, karena itulah jati dirinya.

Inilah yang kemudian saya tanyakan kepadanya.
Di hadapan monumen taman kota di kampung Karang Tengah, Jaksel, Bang Idin mengaku upaya konservasinya bermanfaat bagi warga sekitar
Menurutnya, istilah jawara itu bukan dalam pengertian selama ini yang menyebut sosok itu jago berkelahi dengan golok di pinggangnya.

Tapi, “bagaimana jawara itu menjadikan musuh bisa menjadi sahabat,” katanya agak berfilsafat.

Untuk memenuhi predikat itu, menurutnya, sang jawara harus “lurus, lempeng, bening, ikhlas, berani, benar,tawaduk serta menghargai setiap perbedaan ”.

“Kalau pun ada orang membenci kita, bukan mereka tidak setuju, tapi belum paham,” tambahnya. Di sinilah dibutuhkan pula kesabaran, lanjutnya.

Bagaimana Anda mempraktekkan nilai-nilai sang jawara saat melakukan konservasi lingkungan? Tanya saya, dengan dipenuhi rasa ingin tahu.

Kalau pun ada orang membenci kita, bukan mereka tidak setuju, tapi belum paham...

Bang Idin memberikan jawaban dengan sebuah contoh: “Dulu ‘kan kita dianggap orang gila, pengangguran. Kita tak pernah dendam, bersabar, bagaimana akhirnya maksud kita itu dipahami orang lain”.

Tetapi, mengapa Bang Idin hampir selalu mengenakan kostim tradisional Betawi seperti para jagoan, di manapun dan kapanpun?

“Inilah saya, inilah jati diri saya,” akunya, seraya membetulkan posisi peci merah marunnya.

Beberapa kali bertemu Bang Idin, atribut peci, celana ala Betawi, serta ikat pinggang berdompet itu selalu dia kenakan, termasuk di acara resmi sekalipun.

Dengan mengenakan itu, lanjutnya, dia menghargai budaya di mana dia lahir dan dibesarkan. “Boleh dong. Kenapa saya harus malu pakai pakaian kaya’ begini,” tandasnya, meyakinkan diri.
Tempat silaturrahmi

Di hamparan tanah luas yang dipagari puluhan ribu pohon itu, sejumlah ibu dan anak-anak balitanya terlihat bersantai. Dua atau tiga penjual bakso pun terlihat memarkir gerobaknya di sana.

Di salah-satu sudutnya berdiri beton berlapis tegel marmer sepanjang sekitar empat meter. Ada tulisan “Hutan kota Pesanggrahan, Sangga Buana”.
Di hadapan monumen taman kota di kampung Karang Tengah, Jaksel, Bang Idin mengaku upaya konservasinya bermanfaat bagi warga sekitar.

Lalu di belakangnya, ada tugu berbentuk pohon dengan tujuh belas dahannya menyungging bumi.

“Tujuh belas dahan itu simbol 17 orang yang bersama saya pertama kali melakukan konservasi lingkungan di sini,” ungkap Bang Idin, saat bersama saya mengunjungi hutan kota tersebut.

Kelompok Tani Sangga Buana adalah nama organisasi yang didirikan Chaerudin, untuk menindaklanjuti upayanya melakukan konservasi di bantaran sungai Pesanggrahan.

Lokasi hutan itu, memang menyatu dengan bantaran sungai yang dulu dihijaukan kembali oleh Bang Idin dan kawan-kawannya itu.

Dahulunya, lokasi itu juga dijadikan tempat pembuangan sampah oleh warga setempat.

Melihat kehadiran warga kampung di taman itu, Chaerudin tak kuasa untuk melontarkan kata-kata berikut ini:

Bukan hanya perubahan fisik, tetapi juga secara kejiwaan... Setiap sore orang kumpul di sini. Bayangin saja, si mpok kumpul, pada nyuapin anaknya, setiap sore ibu-ibu pada jalan-jalan, ‘kan ini silaturrahmi, pertemuan.

“Bukan hanya perubahan fisik, tetapi juga secara kejiwaan... Setiap sore orang kumpul di sini.Bayangin saja, si mpok kumpul, pada nyuapinanaknya, setiap sore ibu-ibu pada jalan-jalan, ‘kan inisilaturrahmi, pertemuan,” katanya bersemangat, dengan logat Betawi yang kental.

Lebih dari itu, menurutnya, warga kampung dapat memanfaatkan hutan kota yang menyimpan sekitar 60 ribu jenis pohon, untuk memetik buah nangka atau memancing ikan secara gratis.
Dari rumah miliknya yang terbuat dari bambu dan kayu inilah, Bang Idin mengaku banyak belajar dari alam dan masyarakat
“Orang di sini bebas metik, tapi asal (ikut) menjaga (hutan dan sungainya),” katanya.

Dari kenyataan ini, Bang Idin menilai, hutan kota tersebut mempunyai nilai kehidupan yang dibutuhkan warga di sekitarnya.

Di sisi lain, kehadiran orang-orang itu sangat penting untuk ikut menjaga sungai dari kerusakan.

“Jadi, yang menjaga sungai itu bukan saya, tetapi teman-teman yang memancing (atau mencari buah). Karena yang saya backup itu sungai yang punya nilai kehidupan,” katanya dengan nada tegas.

“Konservasi itu harus punya nilai kehidupan,” tandasnya lagi.
Belajar dari kehidupan

Walaupun mengaku hanya mencicipi bangku sekolah hanya sampai klas empat sekolah dasar, Chaerudin tidak pernah menyesali hal itu.

Dari rumah miliknya yang terbuat dari bambu dan kayu inilah, Bang Idin mengaku banyak belajar dari alam dan masyarakat.

Dia berulangkali mengutarakan, bahwa dia belajar dari alam dan masyarakat, secara langsung.

“Kampus yang sebetulnya paling dahsyat, adalah alam dan masyarakat,” katanya datar.

Menurutnya, manusia bisa belajar dari aliran sungai, atau hijaunya daun. “Itu saya sebut manajemen kearifan alam,” katanya lagi.

“Keseharian yang kita lihat, kita raba, kita rasa, itulah kampus sebenarnya, yangnggak pernah ada batasan akademisnya”.

“Nah, itu saya belajar dari situ,” tandas Bang Edin.

Keseharian yang kita lihat, kita raba, kita rasa, itulah kampus sebenarnya, yang nggak pernah ada batasan akademisnya

Menurutnya, kalau orientasinya sekedar pintar, itu bisa diperoleh di bangku sekolah atau kampus. “Di sini namanya intelektual pintar. .

Padahal, menurutnya, orang pintar belum tentu paham. “Sedangkan, orang paham itu sedikit pintar”.
Agar upaya konservasi Sungai Pesanggrahan dapat terus berjalan, Bang Idin dan rekan-rekannya membuka usaha secara mandiri, seperti membuka peternakan kelinci.

Lebih lanjut, Bang Edin mengatakan, sosok mahasiswa barulah awal menjadi intelektual. “Nah, nanti sebaiknya yang lahir itu intelektual yang paham.”
Mandiri

Lebih dari 15 tahun menjalankan upaya konservasi lingkungan di sekitar 120 hektar lahan di Jakarta dan sekitarnya, tentu dibutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Bang Idin memahami hal ini, walaupun dia tidak mau upaya konservasi ini berhenti di tengah jalan karena alasan mencari keuntungan ekonomi semata.

Di sinilah, menurut, Kelompok Tani Sangga Buana -- yang dipimpinnya -- menjalin kerjasama dengan pihak-pihak terkait yang berkepentingan dengan dunia konservasi.

“Kemandirian itu,” katanya, “bukan berarti saya berangkat dari modal sendiri untuk segala-galanya”.

“Kemandirian bisa juga kita menjalin mata rantai kekuatan jaringan,” katanya, melanjutkan.

Kerjasama ini, yang melibatkan berbagai pihak, kemudian melahirkan berbagai usaha seperti peternakan ratusan kambing, kelinci, serta usaha lainnya seperti budi daya madu, peternakan ikan, penangkaran pohon bambu, serta pengelolahan sampah.

Misalnya, dulu siapa yang menggaji kita membersihkan kali. Nggak ada kan. Tetapi, rupa-rupanya, kalau kita cara membangun itu berpikir kearifan, pasti untung ngikutin... 

“Contoh, kita punya peternakan kambing, sekitar 500-700 kambing. Anak-anak itu kita berdayakan, agar bisa mengawasi hulu sungai, dengan melibatkan mereka dalam memelihara kambing,” ungkap Bang Idin, seraya menyebutkan lokasi peternakan itu di Jawa Barat.

Namun demikian, Bang Idin menggarisbawahi, kerjasama seperti ini merupakan hasil jerih payahnya dirinya dan teman-temannya selama ini.

“Misalnya, dulu siapa yang menggaji kita membersihkan kali. Nggak ada kan. Tetapi, rupa-rupanya, kalau kita cara membangun itu berpikir kearifan, pasti untung ngikutin,” katanya dengan yakin.

Dia kemudian mencontohkan, kepercayaan para penghuni perumahan mewah yang jumlahnya ratusan meminta dirinya mengelola sampah milik mereka. “Karena mereka percaya, bakal diperlakukan dengan baik dan tidak dibuang doang,” ujar Chaerudin.

“Jadi, kita kembalikan kepada alam awalnya, dan kita nantinya mendapat nilai tambah dari alam itu sendiri,” jelasnya.
Bersyukur

Kini, setelah upayanya menyelamatkan bibir Sungai Pesanggrahan sedikit-banyak membuahkan hasil, Bang Idin mengaku bersyukur kepada Tuhan.



Bang Idin menyatakan selalu bersyukur atas pikiran dan tindakan yang dia lakukan selama ini.

Pasalnya, jarang ada orang yang diberi kesempatan seperti dirinya, yang dapat memadukan antara pikiran dan tindakan.

“Karenanya, saya selalu bersyukur,” kata Bang Idin

Dia kemudian mengenang lagi aktivitas awalnya dalam menyelamatkan bantaran Sungai Pesanggrahan berupa penanaman puluhan ribu pohon, yang menurut ukuran khalayak banyak, tidak masuk akal.

Walaupun kala itu sempat dicemooh banyak orang, tetapi dia tetap menjalankan upayanya itu dan berhasil. “Itu karena saya ‘gila’. Nah, saya bersyukur, karena jarang orang dikasih pemahaman seperti saya”.

Itu karena saya ‘gila’. Nah, saya bersyukur, karena jarang orang dikasih pemahaman seperti saya...

Tentang bagaimana dirinya bisa meyakinkan keluarga serta warga kampung agar ikut menyelamatkan bibir sungai, Bang Idin mengaku, semua itu butuh energi.

“Itulah mendidik anak-anak, itu jangan (semata) nilai. Sekarang orang mendidik itu cuma angka, nilai. Matematika harus dapat nilai delapan atau sembilan. Bukan begitu sebetulnya,” katanya, membuka rahasia.

Hal ini juga dia terapkan dalam meyakinkan warga kampung Karang Tengah untuk mau peduli terhadap lingkungannya. Yaitu dengan cara diberi pemahaman, termasuk riwayat Sungai . “Bukan dengan cara ‘elo jangan buang sampah sembarangan’. Nggak bisa lagi dengan cara-cara seperti itu,” kata Chaerudin.
Di akhir wawancara, yang berlangsung di teras depan rumahnya yang terbuat dari bambu, Bang Idin agak terkejut ketika saya tanyakan apa yang dia pikirkan saat hasil kerjanya diacungi jempol oleh banyak orang, sehingga membuahkan tidak sedikit penghargaan yang diperolehnya.Walaupun berbagai penghargaan lingkungan telah diperolehnya, Bang Idin tidak begitu mempedulikannya."Itu bukan tujuan saya", katanya.

“Saya tidak tahu, bang. Saya sms nggakbisa, apalagi internet,” katanya, agak pelan.
Menurutnya, dia tidak mempedulikan penghargaan atau liputan media terhadap dirinya. “Bukan itu akhir tujuannya ‘kan,” katanya, masih dengan nada pelan.

Itulah sebabnya, lanjutnya, dia mengaku tidak pernah memasang berbagai penghargaan di dalam rumahnya. “Kalau dipasang semua, panjangnya bisa sampai 300 meter,” kali ini dia tertawa kecil.

Kalau dipasang semua, panjangnya bisa sampai 300 meter... Banyak loh termasuk (penghargaan) Kalpataru. Tapi, ya, saya simpan saja. Saya nggak pajang atau ditaruh di bingkai.

“Banyak loh termasuk (penghargaan) Kalpataru. Tapi, ya, saya simpan saja. Saya nggak pajang atau ditaruh dibingkai,” ujarnya lagi.

Berbagai penghargaan memang banyak diperolehnya, termasuk penghargaan lingkungan Kalpataru dari Pemerintah Indonesia pada 1998, serta penghargaan serupa dari berbagai negara lain. Dia juga diundang beberapa kali di berbagai forum untuk membagi pengalamannya.

“Tapi saya nggak mau pamer,” tandasnya, seraya mengajak saya melihat beberapa lembaran penghargaan yang disimpannya dalam kotak plastik berukuran besar.

Ketika hari beranjak sore, hujan akhirnya redah, dan wawancara pun berakhir.

Saya mohon pamit, dan Bang Idin kemudian meneruskan aktivitasnya bersama anak-anak muda yang bergabung di organisasi Kelompok Tani Sangga Buana, yang dia dirikan sekian tahun silam.

Ditulis oleh 
Heyder Affan pada 5 Februari 2013
di BBC INDONESIA

------------------------------------------------
With Love
-Kaan Kahfi-

Silahkan jalan-jalan ke Tulisan Kaan Kahfi lainnya. Atas kunjungannya saya haturkan banyak terimakasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ans!!