Kamis, 03 Desember 2015

Warsito P. Taruno ilmuwan penemu ECVT (Electrical Capacitance Volume Tomography)

Warsito Purwo Taruno penemu ECVT (Electrical Capacitance Volume Tomography). Temuannya ini dipakai oleh luar negri (NASA) tapi dijegal di dalam negri!

12 tahun yang lalu hari-hari ini, saya kehilangan data riset saya hasil kerja selama 15 tahun. Komputer laptop terakhir saya ‘crash’ setelah berhari-hari menjalankan program rekonstruksi data pemindaian. Sebelumnya 2 komputer lain yang menyimpan data backup hangus tersambar petir, 2 lagi juga ‘crash’ terlebih dahulu karena tak mampu menjalankan program.

Ketika baru memulai membina riset di Indonesia selama 6 bulan, langit bagaikan runtuh, seolah-olah mengatakan: “Tak ada tempat buat saya di Indonesia.”

Tak ada ‘shock’ yang lebih berat dari itu yang pernah saya alami dalam hidup saya hingga membuat saya seminggu lebih tak mampu keluar rumah.

Tetapi hal itu tak merubah niat saya untuk mencoba membangun riset di Indonesia. Dari puing-puing akhirnya ECVT (Electrical Capacitance Volume Tomography) lahir, hari-hari ini 12 tahun yang lalu di sebuah ruko di Tangerang. Tahun berikutnya paten ECVT didaftarkan di PCT. 3 tahun kemudian ‘granted’. Tahun 2006 ketika polemik sedang panas-panasnya tentang ECVT, NASA memakainya untuk pengembangan sistem pemindaian di pesawat ulang-alik. 2007 jurnal ECVT terbit di IEEE Sensors Journal, dengan alamat Fisika UI. 2008 Dept Energi Amerika memakainya sebagai model sistem pemindaian untuk pengembangan ‘Next generation power plant’ dan untuk verifikasi hasil simulasi supercompter skala penta-eksa.

Di Indonesia ECVT berkembang lebih banyak ke aplikasi di bidang medis, bekerja sama dengan Fisika Medis UI, Biofisika ITB, Biologi IPB, Litbangkes, Metalurgi Untirta, Kedokteran Unair, Biomedik UIN, Biomedik ITS, Univ. Kyoto dan lain sebagainya. Di Indonesia lahirlah teknologi pertama di dunia: Breast ECVT untuk screening breast cancer secara 4D dan instant, serta Brain ECVT untuk pemindaian aktifitas otak secara 4D dan real time.

Salah satu turunan teknologi ECVT adalah aplikasi untuk terapi kanker, ECCT (Electro-Capacitive Cancer Therapy), didaftarkan paten Indonesia 2012. ECCT dan ECVT adalah setara dengan radioterapi untuk terapi dan CT scan untuk pemindai dengan sumber gelombang elektromagnet pengion. Bedanya ECVT dan ECCT memanfaatkan sifat dasar biofisika sel dan jaringan.

ECVT dan ECCT jelas memberikan harapan besar untuk terapi kanker berbasis gelombang energi non-radiasi. Dengan ECCT misalnya kasus yang sudah tidak ada jalan keluar sebelumnya seperti kanker di tengah batang otak atau kanker yang sudah menyebar ke seluruh tubuh masih mungkin dibersihkan (dibersihkan, tanpa tanda kutip) dengan ECCT.

ECVT dan ECCT bisa dikatakan tak ada referensinya di dunia luar, karena keduanya lahir di Indonesia, pertama di dunia.

Sesuatu yang baru sudah pasti akan mengundang kontroversi. Adanya kontroversi itu sendiri justru karena kita mencoba sesuatu yang baru. Tanpa mencoba sesuatu yang baru, tak ada yang akan mengubah nasib kita.

ECVT dan ECCT hanyalah teknologi yang dikembangkan berdasarkan prinsip fisika dan matematis. Kalau bukan saya yang membuatnya, akan ada orang lain yang membuatnya di tempat lain di waktu lain.

12 tahun kemudian sejak pertama kali ECVT ditemukan, hari ini di tempat yang sama saya mendapat surat dari sebuah lembaga agar saya menghentikan semua kegiatan pengembangan riset saya di Indonesia. Haruskah pertanyaan 12 tahun yang lalu perlu diulang: “Tak ada tempat buat saya di Indonesia?”

Warsito P. Taruno
Tangerang, 30 Nopember 2015


Sumber: https://www.facebook.com/warsito.purwotaruno

-------------------------------------------

PETISI ONLINE DUKUNG DR. WARSITO

Netizen membuat petisi online di change.org untuk memberikan dukungan kepada ilmuwan Warsito P. Taruno, ilmuwan penemu teknologi ECVT dan ECCT yang dimanfaatkan untuk pengobatan kanker, untuk melanjutkan risetnya.

Alat ini merupakan sebuah sistem pemindai berbasis listrik statis. Sistem ini telah diaplilkasikan secara luas di dunia industri dan medis. Baru-baru ini, Warsito mengatakan izin risetnya dihentikan oleh lembaga pemerintah tertentu yang ternyata adalah Kementrian Kesehatan.

Adalah Tri Sunaryanto, yang tinggal di Yogyakarta membuat petisi tersebut. Petisi ini ditujukan kepada Jokowi, Kementrian Riset dan Kementrian Kesehatan. Dalam petisi yang dibuat, Rabu (2/12) sekitar pukul 10 ini, dia menuliskan dukungan ilmuwan penemu alat pembasmi kanker di Indonesia.

Dalam petisi online itu, terlampir surat terbuka yang ditulis oleh Warsito di akun Facebooknya mengenai pemberhentian riset tersebut. Warsito menuliskan mengenai teknologi ECVT dan ECCT yang dikembangkan berdasarkan prinsip fisika dan matematis.

Di negara lain, negara membantu dan bahkan turut mendanai putera-puteri terbaiknya untuk melakukan riset demi kemajuan bangsanya sendiri. Aneh bin konyol, di negeri ini ilmuwan yang melakukan riset dengan biaya dari kantongnya sendiri malah dilarang. Apakah negara ini sudah menjadi kaki tangan perusahaan farmasi atau alat kesehatan asing.


Sumber: Eramuslim
-------------------------------------------------
With Love
-Kaan Kahfi-

Silahkan jalan-jalan ke Tulisan Kaan Kahfi lainnya. Atas kunjungannya saya haturkan banyak terimakasih.

Rabu, 02 Desember 2015

Yogi Ahmad Erlangga, Matematikawan Tasik Pemecah Rumus Helmotz

"Menurut Yogi, selain untuk menemukan sumber minyak, keberhasilan persamaan Helmholtz ini juga bisa diaplikasikan dalam industri lainnya yang berhubungan dengan gelombang. Persamaan ini digunakan untuk mendeskripsikan perilaku gelombang secara umum.
Industri yang bisa mengaplikasikan rumus ini antara lain industri radar, penerbangan, kapal selam, penyimpanan data dalam blue ray disc (keping DVD super yang bisa memuat puluhan gigabyte data), dan aplikasi pada laser."


Jakarta, (ICMI Media) - Dulu, BJ Habibie menemukan rumus yang mampu mempersingkat prediksi perambatan retak. Banyak lembaga di berbagai negara memakai rumus ini, termasuk NASA di Amerika. Yogi Ahmad Erlangga mengulang kesuksesan Habibie. Melalui riset Ph.D-nya, Yogi berhasil memecahkan rumus persamaan Helmholtz, Desember 2005.

Selama 30 tahun terakhir, tak ada yang berhasil memecahkan persamaan matematika Helmholtz yang sering dipakai untuk mencari titik lokasi minyak bumi itu. Persamaan matematika itu sendiri dikenal sejak satu abad silam.

Media Barat menyebut Yogi sebagai matematikawan Belanda. Padahal, ia adalah pria kelahiran Tasikmalaya, dosen Institut Teknologi Bandung (ITB), dan saat itu sedang menempuh program Ph.D di Delft University of Technology (DUT).

Keberhasilan itu memuluskan jalan bagi perusahaan perminyakan untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar dengan biaya lebih rendah. Selama ini, industri perminyakan sangat membutuhkan pemecahan rumus Helmholtz itu agar bisa lebih cepat dan efisien dalam melakukan pencarian minyak bumi.

Setelah Yogi memecahkan persamaan Helmholtz yang selama ini justru banyak dihindari oleh para ilmuwan, perusahaan minyak bisa 100 kali lebih cepat dalam melakukan pencarian minyak bila dibandingkan dengan sebelumnya.

Tak cuma itu, dari kebutuhan hardware-pun, industri minyak bisa mereduksi sekitar 60 persen dari hardwareyang biasanya. Sebagai contoh, program tiga dimensi yang sebelumnya diselesaikan dengan 1.000 komputer, dengan dipecahkannya rumus Helmholtz oleh Yogi, bisa diselesaikan hanya dengan 300 komputer.

Yogi mengungkapkan, penelitian mengenai persamaan Helmholtz ini dimulai pada Desember 2001 silam dengan mengajukan diri untuk melakukan riset di DUT. Waktu itu, perusahaan minyak raksasa Shell datang ke DUT untuk meminta penyelesaian persamaan Helmholtz secara matematika numerik yang cepat atau disebut robust (bisa dipakai di semua masalah).

Selama ini, ungkap Yogi, Shell selalu memiliki masalah dengan rumus Helmholtz dalam menemukan sumber minyak di bumi. Persamaan Helmholtz yang digunakan oleh perusahaan minyak Belanda itu membutuhkan biaya tinggi, tak cuma dari perhitungan waktu tetapi juga penggunaan komputer serta memori.

‘’Shell selama ini harus menggunakan rumus Helmholtz berkali-kali. Bahkan, kadang-kadang harus ribuan kali untuk survei hanya di satu daerah saja. Itu sangat mahal dari sisi biaya, waktu dan hardware,’’ ungkap Yogi.

Karena itu, sambung pria yang lulus dengan nilai cum laude saat menyelesaikan pendidikan S1 dan S2 itu, Shell meminta DUT melakukan penelitian yang mengarah pada persamaan Helmholtz agar bisa lebih efisien, cepat, dan kebutuhan hardware yang cukup kecil.

Untuk proyek penelitian tersebut, Pemerintah Belanda membiayainya karena proyek ini dianggap sebagai bagian dari kegiatan untuk meningkatkan perekonomian Belanda.

Yogi yang memiliki hobi memasak, melukis, dan olah raga itu, memecahkan rumus Helmholtz setelah berkutat selama empat tahun. Yang membuat penelitian itu lama, ungkap dia, karena persamaan Helmholtz dalam matematika numerik, yaitu matematika yang bisa diolah dengan menggunakan komputer.

Karena itu, dalam melakukan penelitian, diperlukan beberapa tahapan yang masing-masing tak sebentar. Apalagi, sambung dia, persamaan ini memang sangat sulit. Ada dua cara untuk menguraikan matematika numerik yaitu secara langsung (direct) dan iterasi.

‘’Banyak pakar yang menghindari penelitian untuk memecahkan rumus Helmholtz karena memang sulit,’’kata pria kelahiran Tasikmalaya ini.

Pakar terakhir yang memecahkan teori Helmholtz adalah Mike Giles dan Prof Turkel, berasal dari Swiss dan Israel, masing-masing dengan caranya sendiri. Teori dari kedua pakar itulah yang kemudian dianalisisnya beberapa waktu sehingga kemudian bisa dioptimalkan dan dijadikan metode yang cukup cepat.

‘’Saya punya persamaan matematika dalam bentuk diferensial. Yang saya lakukan untuk memecahkan rumus Helmholtz itu adalah mengubah persamaan ini menjadi persamaan linear aljabar biasa. Begitu saya dapatkan, saya pecahkan dengan metode direct atau iterasi,’’ ujarnya.

Metode langsung, papar Yogi, bila dalam perjalanannya kemudian menemukan masalah yang besar maka akan mahal dari segi waktu dan biaya. Namun metode iterasi pun belum tentu bisa memperoleh solusi atau kadang-kadang diperoleh dengan waktu yang cukup lama. Hanya, kata dia, yang pasti, dengan metode iterasi selalu murah dari segi hardware.

‘’Persamaan Helmholtz ini bisa diselesaikan dengan iterasi, tapi kalau dinaikkan frekuensinya, jadi sulit untuk dipecahkan,’’ ujarnya. Yogi memaparkan, untuk mengetahui struktur daerah cekung, misalnya, yang dilakukan adalah meneliti daerah akustik dan kemudian dipantulkan gelombangnya dengan frekuensi tertentu.

Pantulan tersebut kemudian direkam. Setelah itu, frekuensi akan dinaikkan misalnya, dari 10 Hz, lalu naik lagi 10,2 Hz, 10,4 Hz, dan seterusnya.

Yang kemudian menjadi persoalan, ungkap dia, ketika frekuensi dinaikkan, persamaan Helmholtz akan semakin sulit untuk diselesaikan. Ia memberikan contoh, Shell hanya bisa menyelesaikan persamaan Helmholtz sampai dengan frekuensi 20 Hz. ‘’Ketika dinaikkan menjadi 30 Hz, mereka tak bisa,’’ katanya.

Kemudian, Yogi memperoleh metode robust yang memungkinkan persamaan Helmholtz untuk dipecahkan dengan frekuensi berapa pun. ‘’Kita sudah melakukan tes 300 Hz tidak masalah. Meskipun, sebenarnya 70 Hz pun sudah cukup untuk pemetaan,’’ujar penggemar matematika ini.

Tak Cuma Untuk Temukan Sumber Minyak
Menurut Yogi, selain untuk menemukan sumber minyak, keberhasilan persamaan Helmholtz ini juga bisa diaplikasikan dalam industri lainnya yang berhubungan dengan gelombang. Persamaan ini digunakan untuk mendeskripsikan perilaku gelombang secara umum.

Industri yang bisa mengaplikasikan rumus ini antara lain industri radar, penerbangan, kapal selam, penyimpanan data dalam blue ray disc (keping DVD super yang bisa memuat puluhan gigabyte data), dan aplikasi pada laser.

Mengenai kelanjutan dari penemuannya itu, Yogi mengatakan, karena penelitian ini dilakukan oleh perguruan tinggi, maka persamaan Helmholtz ini menjadi milik publik. ‘’Biarpun dibiayai oleh Shell, tapi yang melakukannya universitas, sehingga rumus ini menjadi milik publik,’’ katanya.

Ia tidak mematenkan rumus temuannya itu. Apalagi, sambung dia, produknya itu berasal dari otak sehingga tidak perlu untuk dipatenkan. ‘’PT Pertamina pun sebenarnya bisa menggunakan rumus ini untuk mencari minyak bumi. Saya sempat diundang oleh Pertamina beberapa waktu lalu, tapi karena ada keperluan, tidak hadir. Memang ada yang mengatakan kalau PT Pertamina tertarik dengan temuan saya, cuma masalahnya Pertamina memiliki software-nya atau tidak,’’ ujar pria yang tak suka publikasi ini.

Menurut Yogi, persamaan Helmholtz ini dalam proses penelitiannya sudah dipresentasikan di banyak negara di dunia, yaitu saat intermediate progress selama Desember 2001 hingga Desember 2005. Buku mengenai persamaan Helmholtz yang dibuatnya saat masih di Belanda pun, laris manis.

‘’Tinggal satu (buku) dan saya tak punya fotokopinya lagi,’’ ujar dosen yang kini sibuk dengan beberapa penelitian bersama Prof Turkel. Mengutip Turkel, Yogi mengatakan bahwa persamaan yang ditemukannya itu masih bisa dikembangkan lagi. Namun kini, Yogi akan berkonsentrasi pada postgraduate research di Berlin, Jerman, yang akan memakan waktu selama dua tahun sejak 1 Mei 2006.

Terobsesi Memajukan Indonesia
Setelah menjadi terkenal di dunia matematika karena berhasil memecahkan rumus Helmholtz yang dikenal sangat sulit, dosen Teknik Penerbangan ITB, Yogi Ahmad Erlangga, masih memiliki obsesi yang belum tercapai.

Menurut anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Mohamad Isis dan Euis Aryati ini, obsesi yang belum tercapai adalah ingin melihat bangsa Indonesia maju.

Karena, kata dia, saat ini Indonesia jauh tertinggal dibandingkan dengan India. Padahal, Indonesia dan India sama-sama sebagai negara berkembang dan banyak masyarakatnya yang miskin.

‘’Meskipun miskin, tapi India sekarang bisa menjadi pusat informasi teknologi (IT) di dunia. Saya ingin Indonesia seperti India, kemiskinan bukan berarti tidak bisa berkembang,’’ ujar Yogi. Khusus untuk ITB, sambung pria kalem kelahiran Tasikmalaya 8 Oktober 1974, obsesinya adalah ingin ITB bisa lebih besar lagi.

Minimal, ITB menjadi perguruan tinggi terbesar di Asia. Karena, kalau hanya terbesar di Indonesia saja, sejak dulu juga begitu. Bahkan, sambung dia, pernyataan itu justru menjadi tanda tanya besar.

‘’Saya pun masih memiliki obsesi pribadi. Keinginan saya adalah ingin melakukan penelitian tentang pesawat terbang, perminyakan, dan biomekanik,’’ kata pemenang penghargaan VNO-NCW Scholarship dari Dutch Chamber of Commerce itu. ***VN/IS/R1


Sumber: http://www.icmi.or.id/blog/2015/11/yogi-ahmad-erlangga-matematikawan-tasik-pemecah-rumus-helmotz
-----------------------------------------------
With Love
-Kaan Kahfi-

Silahkan jalan-jalan ke Tulisan Kaan Kahfi lainnya. Atas kunjungannya saya haturkan banyak terimakasih.

Sabtu, 19 Oktober 2013

MAK EROH, Wanita Besi dari Tasikmalaya



BANYAK tokoh wanita hebat yang lahir di Indonesia ini, mulai dari zaman penjajahan, hingga perjuangan kemerdekaan, seperti RA Kartini, Tjut Nyak Dien, atau pahlawan wanita Sunda, Dewi Sartika. Dari sekian wanita super yang akan selalu dikenang masyarakat tersebut, terselip satu nama wanita dari Kabupaten Tasikmalaya, yakni Mak Eroh. Wanita yang meninggal pada 18 Oktober 2004 di usianya yang ke-68 tahun tersebut dikenal namanya pada 1988.
Setahun kemudian, United Nations Environment Program dari PBB memberikan penghargaan lingkungan, Global 500. Sebagai penghormatan, Pemkab Tasikmalaya pun membangun monumen Mak Eroh bersama pahlawan lingkungan lainnya, Abdul Rodjak.
Apa yang dilakukan Mak Eroh memang cukup mencengangkan dunia. Warga Desa Pasirkadu Kecamatan Cisayong Kabupaten Tasikmalaya berhasil membuat saluran air sepanjang 4.500 meter yang mengitari 8 bukit dengan kemiringan 60-90 derajat. Proyek raksasa itu dapat diselesaikan dengan bantuan para muda desa, dalam waktu 2,5 tahun.

Tekad kuat Mak Eroh untuk membuat saluran air ini awalnya didasari oleh sulitnya warga desa dalam mendapatkan air, baik untuk keperluan rumah tangga maupun pertanian.
Kekeringan membuat Desa Pasirkadu jauh dari kesejahteraan. Awalnya, Mak Eroh memiliki gagasan untuk membuat saluran air sepanjang 50 meter yang dapat menghubungkan Desa Pasirkadu dengan Sungai Cilutung. Kerja kerasnya dimulai pada Juni 1985, namun gagasannya hanya menjadi bahan tertawaan warga sekitar. Namun dia tidak mundur. Dengan bermodalkan 20 pahat, 20 martil, 20 linggis, 20 belincong, plus cangkul yang dibeli dari hasil menjual perhiasan, Mak Eroh memulai misinya.

Dengan peralatan sederhana itu, istri dari Emuh ini menggantungkan badannya hanya dengan bermodalkan seutas tali rotan, lalu dengan gesitnya memapras bukit cadas. Setelah bekerja keras selama 45 hari tanpa henti, Mak Eroh pun berhasil membuat saluran sepanjang 50 meter. Dia pun melaporkan hasil kerjanya kepada ketua RT setempat.

Saat itu, warga nyaris tidak percaya dengan hasil kerja wanita yang tak lulus SD tersebut. Setelah Mak Eroh memberikan cara membabat bukit cadas, 19 pemuda tergerak hatinya untuk membantu, namun 8 di antaranya berhenti setelah 8 hari.

Dengan kerja keras dan kegigihan, misi tersebut membuahkan hasil saluran dengan lebar 1 meter dan berkedalaman 0.25 meter yang menghubungkan Sungai Cilutung dengan Desa Pasirkadu. Dari hasil kerja kerasnya itu, sawah seluas 60 hektare dapat dialiri air Sungai Cilutung. Bukan hanya di Desa Pasirkadu, dua desa tetangga di Kecamatan Cisayong dan Indihiang pun mendapatkan berkah dengan limpahan air. Dengan kerja kerasnya, ibu dari Tohariah, Rohanah, dan Mesaroh tersebut telah menghidupi puluhan keluarga dan juga menolong puluhan anak-anak dari kebodohan. Pembuatan saluran air untuk keperluan pertanian, sebenarnya tugas pemerintah. Namun Mak Eroh tidak pernah berpikir untuk menuntut pemerintah menyediakan irigasi, namun berusaha sendiri menciptakan saluran air yang mengelilingi Gunung Galunggung tersebut.


Mak Eroh sendiri tak pernah menyangka akan menerima Kalpataru, yang kini disimpan di Pendopo Kabupaten Tasikmalaya. Dia pun tak pernah mengharapkan imbalan dari apa yang dilakukannya. Bahkan saat ajal menjemput, Mak Eroh bersama suaminya tetap hidup seadanya tanpa mendapat imbalan dari jerih payahnya. Dia justru masih memikirkan masyarakat di usia senjanya saat itu. Dia berharap pemerintah mau mengusahakan pipa paralon untuk saluran air ke desanya. Dia juga berharap ada pembangunan masjid di kampungnya. Sebab, masjid terdekat berjarak dua kilometer dari rumahnya.

Setelah meninggal, tak banyak lagi yang mengenal Mak Eroh. Sisa-sisa nama besarnya hanya terdengar saat pemerintah menggelar acara peringatan Hari Lingkungan Hidup. Sisanya, dia kembali terlupakan..
Yang jelas, Mak Eroh telah memberikan inspirasi kepada kita bahwa alam bisa dipergunakan, namun kita jangan lupa melestarikannya. Perjalanan hidup Mak Eroh pun mengajarkan kepada kita bahwa kerja keras dan kegigihan dapat membuahkan hasil yang luar biasa. “Jika ada keyakinan yang dapat menggerakkan gunung, itu adalah keyakinan dalam diri Anda.

Diposkan 5 September 2013 oleh Deni Mulyana Sasmita,
melalui Blognya:
 
denimulyanasasmita
---------------------------------------------------------------
With Love
-Kaan Kahfi-

Silahkan jalan-jalan ke Tulisan Kaan Kahfi lainnya. Atas kunjungannya saya haturkan banyak terimakasih.

Selasa, 05 Februari 2013

Bang Idin, pendekar Sungai Pesanggrahan




Chaerudin alias Bang Idin berhasil menghijaukan kembali bantaran Sungai Pesanggrahan di kawasan Karang Tengah, Jakarta Selatan, yang sebelumnya tercemar akibat sampah.

Aroma tanah yang menyeruap setelah diguyur gerimis, desahan dedaunan pohon bambu yang saling bersentuhan, serta bunyi "kwek, kwek, kwek…" yang saling menyaut dari mulut belasan itik peliharaannya, langsung menyergap saat saya melangkah pelan ke halaman rumahnya -- yang tidak berpagar.

Siang itu, mengenakan kaos gelap, peci merah marun, serta celana tradisional Betawi, Chaerudin alias Bang Idin, terlihat terlelap di bangunan kayu semi permanen, tidak jauh dari rumah induknya. Dia terlihat letih.

Tatkala saya ucapkan salam, angin semilir tiba-tiba berhembus dari arah Sungai Pesanggrahan -- yang di sepanjang bibirnya ditumbuhi antara lain pohon bambu, sukun, melinjo, rambutan, tanjung, belimbing wuluh, atau nangka, yang merupakan hasil keringat Bang Idin setidaknya dalam 15 tahun terakhir.

Sempat terlintas di benak saya, bahwa tempat ini bukanlah di Jakarta.

“Wa’alaikum salam,” jawabnya, pelan, membuyarkan lamunan saya. Dia kemudian bercerita baru saja selesai “bekerja” dari kebun miliknya. Siang itu jarum jam menunjuk angka sebelas.

Berjarak sekitar empat kilometer dari hiruk-pikuk Terminal Lebak Bulus, di sudut selatan Jakarta, kediaman Bang Idin, kelahiran 13 April 1956, mirip "dunia lain".

Bahkan, dibanding model bangunan rumah para tetangganya di kampung Karang Tengah, yang rata-rata terbuat dari beton, struktur bangunan rumahnya terbuat dari bambu dan kayu – yang diperolehnya dari pohon bambu yang ditanamnya sendiri belasan tahun silam, di pinggiran sungai Pesanggrahan dan lokasi lainnya.

Hutan kota di kawasan bantaran sungai Pesanggrahan di Kampung Tengah, Jakarta Selatan, yang dulu dijadikan tempat pembuangan sampah

Berawal dari kesal
Melihat langsung kehadiran puluhan ribu pohon di pinggiran Sungai Pesanggrahan, yang ditanam Bang Idin dan kawan-kawannya, saya siang itu membayangkan ketika tumpukan sampah beraroma busuk masih menggunung di kawasan itu, lebih dari 15 tahun silam.

Hutan kota di kawasan bantaran sungai Pesanggrahan di Kampung Tengah, Jakarta Selatan, yang dulu dijadikan tempat pembuangan sampah.

Saya membayangkan pula, faktor apa yang menggerakkan hati lelaki asli Betawi ini bekerja keras -- seorang diri, awalnya! -- untuk menyelamatkan kali yang menjadi tempatnya bermain di masa kecil itu.

“Latar belakangnya kesel. Tapi bukan berarti ngomel-ngomel atau marah-marah,” ungkap Haji Chaerudin, membuka kisah, dalam wawancara yang ditingkahi hujan gerimis.

Dia mengaku sangat kesal, sungai yang merupakan tempat bermainnya di masa kecil itu rusak parah di tahun 1980-an.

Sampah bertebaran di sepanjang bantaran yang tandus atau di aliran sungai yang warnanya kehitaman, begitulah yang dia saksikan, seiring pembangunan perumahan mewah tidak jauh dari aliran sungai tersebut.

“Itu awal kesel-nya,” akunya.

Saya lihat rumah dibangun membelakangi sungai. Dan, sungai dijadikan tempat pembuangan sampah... Jadi tidak ada lagi cerita di jaman kerajaan dulu, yang menyebutkan bahwa ‘jangan suka mengotori sungai karena sungai tempat mengenal Tuhan’.
Cercaan dan hinaan acap dialami Bang Idin ketika pertama kali membersihkan bantaran Sungai Pesanggrahan dari tumpukan sampah
Berangkat dari rasa kesal itulah, Chaerudin lantas melontarkan protes. “Tetapi, protesnya bukan ke bundaran Hotel Indonesia, lalu teriak-teriak,” katanya, dengan agak tergelak.

‘Kemarahan’ itu dia awali dengan jalan kaki dan naik rakit seorang diri menyusuri Sungai Pesanggrahan dari hulunya, yaitu di Gunung Pangrango, hingga ke muaranya di kawasan utara Jakarta – sejauh kira-kira 136 kilometer.

Apa yang Anda saksikan di sepanjang perjalanan itu? “Saya lihat rumah dibangun membelakangi sungai. Dan, sungai dijadikan tempat pembuangan sampah,” katanya, mulai mengenang.

Dalam perjalanan itu, dia juga rajin mencatat pepohonan, ikan-ikan jenis apa, serta satwa apa saja yang hilang akibat perilaku manusia.

Dengan nada agak masygul, Bang Idin kemudian membandingkan kenyataan pahit di sepanjang sungai itu dengan nilai-nilai tradisi yang dulu dihayati warga yang turun-temurun tinggal di pinggiran Sungai Pesanggrahan.

“Jadi tidak ada lagi cerita di jaman kerajaan dulu, yang menyebutkan bahwa ‘jangan suka mengotori sungai karena sungai tempat mengenal Tuhan’….”

Sepulang dari perjalanan ‘protes’ itu, Bang Idin -- yang mengaku cuma jebolan klas empat sekolah dasar -- lantas melakukan hal yang paling sederhana, yaitu mengangkut sampah dari aliran sungai dan bantarannya ke tempat pembuangan sampah.

Kepada Heyder Affan, Bang Idin mengaku selalu mengenakan kostim tradisional Betawi, karena itulah jati dirinya
Cercaan dan hinaan acap dialami Bang Idin ketika pertama kali membersihkan bantaran Sungai Pesanggrahan dari tumpukan sampah.

“(Dari) hari, (ke) bulan, bagaimana saya mengangkat sampah dari sungai ke darat, bagaimana mengkoordinir orang-orang (agar) jangan membuang sampah ke sungai”, ungkap pengagum tokoh Bima dalam kisah pewayangan serta sosok Si Pitung, tokoh yang dihormati warga Betawi.

Dalam perjalanannya, bisa ditebak, ayah dua anak ini mengalami berbagai kendala dan cobaan yang tidak gampang dilalui.

Kepada saya, Chaerudin lantas mencontohkan sebuah pengalaman yang membekas sampai sekarang, yaitu ketika dia menghadapi seorang pejabat yang tinggal di komplek perumahan mewah di dekat bibir Sungai Pesanggrahan.

Dia menggambarkan orang ini suka membuang sampah sembarangan, walaupun berulangkali dinasihati.

Bukan hanya perubahan fisik, tetapi juga secara kejiwaan... Setiap sore orang kumpul di sini. Bayangin saja, si mpok kumpul, pada nyuapin anaknya, setiap sore ibu-ibu pada jalan-jalan, ‘kan ini silaturrahmi, pertemuan.

Pemilik rumah mewah itu akhirnya tersinggung, ketika berulangkali diingatkan agar tidak membuang sampah di bantaran sungai.

“Dia membentak saya: siapa kamu! Saya kelompok tani, pak. Siapa suruh kamu? Nggak ada yangnyuruh. Dari mana kamu SK (surat keputusan)-nya?" Mata saya langsung menyala, dan saya bilang: "SK saya dari langit!” ungkap Bang Idin, mengulang lagi materi percakapannya dengan pemilik rumah tersebut.

Tidak puas, esoknya Chaerudin meletakkan sejumlah kantong sampah di pagar rumah orang tersebut.

“Supaya mereka paham, bagaimana rasanya ada sampah di depan hidungnya”.

Dalam perjalanannya, Bang Idin dan kawan-kawannya mulai mengusahakan bibit (yang didapat dari berbagai pihak) pohon-pohon yang cocok ditanam di pinggiran sungai, dan kemudian menanamnya secara berkelanjutan – hingga sekarang.

Dia juga berhasil meyakinkan warga setempat untuk membawa bibit pohon dan menanamnya secara bersama-sama.
Sang Jawara

Dalam wawancara dengan berbagai media, termasuk dengan saya, Bang Idin selalu menyebut dirinya sebagai “sang jawara”.

Kepada Heyder Affan, Bang Idin mengaku selalu mengenakan kostim tradisional Betawi, karena itulah jati dirinya.

Inilah yang kemudian saya tanyakan kepadanya.
Di hadapan monumen taman kota di kampung Karang Tengah, Jaksel, Bang Idin mengaku upaya konservasinya bermanfaat bagi warga sekitar
Menurutnya, istilah jawara itu bukan dalam pengertian selama ini yang menyebut sosok itu jago berkelahi dengan golok di pinggangnya.

Tapi, “bagaimana jawara itu menjadikan musuh bisa menjadi sahabat,” katanya agak berfilsafat.

Untuk memenuhi predikat itu, menurutnya, sang jawara harus “lurus, lempeng, bening, ikhlas, berani, benar,tawaduk serta menghargai setiap perbedaan ”.

“Kalau pun ada orang membenci kita, bukan mereka tidak setuju, tapi belum paham,” tambahnya. Di sinilah dibutuhkan pula kesabaran, lanjutnya.

Bagaimana Anda mempraktekkan nilai-nilai sang jawara saat melakukan konservasi lingkungan? Tanya saya, dengan dipenuhi rasa ingin tahu.

Kalau pun ada orang membenci kita, bukan mereka tidak setuju, tapi belum paham...

Bang Idin memberikan jawaban dengan sebuah contoh: “Dulu ‘kan kita dianggap orang gila, pengangguran. Kita tak pernah dendam, bersabar, bagaimana akhirnya maksud kita itu dipahami orang lain”.

Tetapi, mengapa Bang Idin hampir selalu mengenakan kostim tradisional Betawi seperti para jagoan, di manapun dan kapanpun?

“Inilah saya, inilah jati diri saya,” akunya, seraya membetulkan posisi peci merah marunnya.

Beberapa kali bertemu Bang Idin, atribut peci, celana ala Betawi, serta ikat pinggang berdompet itu selalu dia kenakan, termasuk di acara resmi sekalipun.

Dengan mengenakan itu, lanjutnya, dia menghargai budaya di mana dia lahir dan dibesarkan. “Boleh dong. Kenapa saya harus malu pakai pakaian kaya’ begini,” tandasnya, meyakinkan diri.
Tempat silaturrahmi

Di hamparan tanah luas yang dipagari puluhan ribu pohon itu, sejumlah ibu dan anak-anak balitanya terlihat bersantai. Dua atau tiga penjual bakso pun terlihat memarkir gerobaknya di sana.

Di salah-satu sudutnya berdiri beton berlapis tegel marmer sepanjang sekitar empat meter. Ada tulisan “Hutan kota Pesanggrahan, Sangga Buana”.
Di hadapan monumen taman kota di kampung Karang Tengah, Jaksel, Bang Idin mengaku upaya konservasinya bermanfaat bagi warga sekitar.

Lalu di belakangnya, ada tugu berbentuk pohon dengan tujuh belas dahannya menyungging bumi.

“Tujuh belas dahan itu simbol 17 orang yang bersama saya pertama kali melakukan konservasi lingkungan di sini,” ungkap Bang Idin, saat bersama saya mengunjungi hutan kota tersebut.

Kelompok Tani Sangga Buana adalah nama organisasi yang didirikan Chaerudin, untuk menindaklanjuti upayanya melakukan konservasi di bantaran sungai Pesanggrahan.

Lokasi hutan itu, memang menyatu dengan bantaran sungai yang dulu dihijaukan kembali oleh Bang Idin dan kawan-kawannya itu.

Dahulunya, lokasi itu juga dijadikan tempat pembuangan sampah oleh warga setempat.

Melihat kehadiran warga kampung di taman itu, Chaerudin tak kuasa untuk melontarkan kata-kata berikut ini:

Bukan hanya perubahan fisik, tetapi juga secara kejiwaan... Setiap sore orang kumpul di sini. Bayangin saja, si mpok kumpul, pada nyuapin anaknya, setiap sore ibu-ibu pada jalan-jalan, ‘kan ini silaturrahmi, pertemuan.

“Bukan hanya perubahan fisik, tetapi juga secara kejiwaan... Setiap sore orang kumpul di sini.Bayangin saja, si mpok kumpul, pada nyuapinanaknya, setiap sore ibu-ibu pada jalan-jalan, ‘kan inisilaturrahmi, pertemuan,” katanya bersemangat, dengan logat Betawi yang kental.

Lebih dari itu, menurutnya, warga kampung dapat memanfaatkan hutan kota yang menyimpan sekitar 60 ribu jenis pohon, untuk memetik buah nangka atau memancing ikan secara gratis.
Dari rumah miliknya yang terbuat dari bambu dan kayu inilah, Bang Idin mengaku banyak belajar dari alam dan masyarakat
“Orang di sini bebas metik, tapi asal (ikut) menjaga (hutan dan sungainya),” katanya.

Dari kenyataan ini, Bang Idin menilai, hutan kota tersebut mempunyai nilai kehidupan yang dibutuhkan warga di sekitarnya.

Di sisi lain, kehadiran orang-orang itu sangat penting untuk ikut menjaga sungai dari kerusakan.

“Jadi, yang menjaga sungai itu bukan saya, tetapi teman-teman yang memancing (atau mencari buah). Karena yang saya backup itu sungai yang punya nilai kehidupan,” katanya dengan nada tegas.

“Konservasi itu harus punya nilai kehidupan,” tandasnya lagi.
Belajar dari kehidupan

Walaupun mengaku hanya mencicipi bangku sekolah hanya sampai klas empat sekolah dasar, Chaerudin tidak pernah menyesali hal itu.

Dari rumah miliknya yang terbuat dari bambu dan kayu inilah, Bang Idin mengaku banyak belajar dari alam dan masyarakat.

Dia berulangkali mengutarakan, bahwa dia belajar dari alam dan masyarakat, secara langsung.

“Kampus yang sebetulnya paling dahsyat, adalah alam dan masyarakat,” katanya datar.

Menurutnya, manusia bisa belajar dari aliran sungai, atau hijaunya daun. “Itu saya sebut manajemen kearifan alam,” katanya lagi.

“Keseharian yang kita lihat, kita raba, kita rasa, itulah kampus sebenarnya, yangnggak pernah ada batasan akademisnya”.

“Nah, itu saya belajar dari situ,” tandas Bang Edin.

Keseharian yang kita lihat, kita raba, kita rasa, itulah kampus sebenarnya, yang nggak pernah ada batasan akademisnya

Menurutnya, kalau orientasinya sekedar pintar, itu bisa diperoleh di bangku sekolah atau kampus. “Di sini namanya intelektual pintar. .

Padahal, menurutnya, orang pintar belum tentu paham. “Sedangkan, orang paham itu sedikit pintar”.
Agar upaya konservasi Sungai Pesanggrahan dapat terus berjalan, Bang Idin dan rekan-rekannya membuka usaha secara mandiri, seperti membuka peternakan kelinci.

Lebih lanjut, Bang Edin mengatakan, sosok mahasiswa barulah awal menjadi intelektual. “Nah, nanti sebaiknya yang lahir itu intelektual yang paham.”
Mandiri

Lebih dari 15 tahun menjalankan upaya konservasi lingkungan di sekitar 120 hektar lahan di Jakarta dan sekitarnya, tentu dibutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Bang Idin memahami hal ini, walaupun dia tidak mau upaya konservasi ini berhenti di tengah jalan karena alasan mencari keuntungan ekonomi semata.

Di sinilah, menurut, Kelompok Tani Sangga Buana -- yang dipimpinnya -- menjalin kerjasama dengan pihak-pihak terkait yang berkepentingan dengan dunia konservasi.

“Kemandirian itu,” katanya, “bukan berarti saya berangkat dari modal sendiri untuk segala-galanya”.

“Kemandirian bisa juga kita menjalin mata rantai kekuatan jaringan,” katanya, melanjutkan.

Kerjasama ini, yang melibatkan berbagai pihak, kemudian melahirkan berbagai usaha seperti peternakan ratusan kambing, kelinci, serta usaha lainnya seperti budi daya madu, peternakan ikan, penangkaran pohon bambu, serta pengelolahan sampah.

Misalnya, dulu siapa yang menggaji kita membersihkan kali. Nggak ada kan. Tetapi, rupa-rupanya, kalau kita cara membangun itu berpikir kearifan, pasti untung ngikutin... 

“Contoh, kita punya peternakan kambing, sekitar 500-700 kambing. Anak-anak itu kita berdayakan, agar bisa mengawasi hulu sungai, dengan melibatkan mereka dalam memelihara kambing,” ungkap Bang Idin, seraya menyebutkan lokasi peternakan itu di Jawa Barat.

Namun demikian, Bang Idin menggarisbawahi, kerjasama seperti ini merupakan hasil jerih payahnya dirinya dan teman-temannya selama ini.

“Misalnya, dulu siapa yang menggaji kita membersihkan kali. Nggak ada kan. Tetapi, rupa-rupanya, kalau kita cara membangun itu berpikir kearifan, pasti untung ngikutin,” katanya dengan yakin.

Dia kemudian mencontohkan, kepercayaan para penghuni perumahan mewah yang jumlahnya ratusan meminta dirinya mengelola sampah milik mereka. “Karena mereka percaya, bakal diperlakukan dengan baik dan tidak dibuang doang,” ujar Chaerudin.

“Jadi, kita kembalikan kepada alam awalnya, dan kita nantinya mendapat nilai tambah dari alam itu sendiri,” jelasnya.
Bersyukur

Kini, setelah upayanya menyelamatkan bibir Sungai Pesanggrahan sedikit-banyak membuahkan hasil, Bang Idin mengaku bersyukur kepada Tuhan.



Bang Idin menyatakan selalu bersyukur atas pikiran dan tindakan yang dia lakukan selama ini.

Pasalnya, jarang ada orang yang diberi kesempatan seperti dirinya, yang dapat memadukan antara pikiran dan tindakan.

“Karenanya, saya selalu bersyukur,” kata Bang Idin

Dia kemudian mengenang lagi aktivitas awalnya dalam menyelamatkan bantaran Sungai Pesanggrahan berupa penanaman puluhan ribu pohon, yang menurut ukuran khalayak banyak, tidak masuk akal.

Walaupun kala itu sempat dicemooh banyak orang, tetapi dia tetap menjalankan upayanya itu dan berhasil. “Itu karena saya ‘gila’. Nah, saya bersyukur, karena jarang orang dikasih pemahaman seperti saya”.

Itu karena saya ‘gila’. Nah, saya bersyukur, karena jarang orang dikasih pemahaman seperti saya...

Tentang bagaimana dirinya bisa meyakinkan keluarga serta warga kampung agar ikut menyelamatkan bibir sungai, Bang Idin mengaku, semua itu butuh energi.

“Itulah mendidik anak-anak, itu jangan (semata) nilai. Sekarang orang mendidik itu cuma angka, nilai. Matematika harus dapat nilai delapan atau sembilan. Bukan begitu sebetulnya,” katanya, membuka rahasia.

Hal ini juga dia terapkan dalam meyakinkan warga kampung Karang Tengah untuk mau peduli terhadap lingkungannya. Yaitu dengan cara diberi pemahaman, termasuk riwayat Sungai . “Bukan dengan cara ‘elo jangan buang sampah sembarangan’. Nggak bisa lagi dengan cara-cara seperti itu,” kata Chaerudin.
Di akhir wawancara, yang berlangsung di teras depan rumahnya yang terbuat dari bambu, Bang Idin agak terkejut ketika saya tanyakan apa yang dia pikirkan saat hasil kerjanya diacungi jempol oleh banyak orang, sehingga membuahkan tidak sedikit penghargaan yang diperolehnya.Walaupun berbagai penghargaan lingkungan telah diperolehnya, Bang Idin tidak begitu mempedulikannya."Itu bukan tujuan saya", katanya.

“Saya tidak tahu, bang. Saya sms nggakbisa, apalagi internet,” katanya, agak pelan.
Menurutnya, dia tidak mempedulikan penghargaan atau liputan media terhadap dirinya. “Bukan itu akhir tujuannya ‘kan,” katanya, masih dengan nada pelan.

Itulah sebabnya, lanjutnya, dia mengaku tidak pernah memasang berbagai penghargaan di dalam rumahnya. “Kalau dipasang semua, panjangnya bisa sampai 300 meter,” kali ini dia tertawa kecil.

Kalau dipasang semua, panjangnya bisa sampai 300 meter... Banyak loh termasuk (penghargaan) Kalpataru. Tapi, ya, saya simpan saja. Saya nggak pajang atau ditaruh di bingkai.

“Banyak loh termasuk (penghargaan) Kalpataru. Tapi, ya, saya simpan saja. Saya nggak pajang atau ditaruh dibingkai,” ujarnya lagi.

Berbagai penghargaan memang banyak diperolehnya, termasuk penghargaan lingkungan Kalpataru dari Pemerintah Indonesia pada 1998, serta penghargaan serupa dari berbagai negara lain. Dia juga diundang beberapa kali di berbagai forum untuk membagi pengalamannya.

“Tapi saya nggak mau pamer,” tandasnya, seraya mengajak saya melihat beberapa lembaran penghargaan yang disimpannya dalam kotak plastik berukuran besar.

Ketika hari beranjak sore, hujan akhirnya redah, dan wawancara pun berakhir.

Saya mohon pamit, dan Bang Idin kemudian meneruskan aktivitasnya bersama anak-anak muda yang bergabung di organisasi Kelompok Tani Sangga Buana, yang dia dirikan sekian tahun silam.

Ditulis oleh 
Heyder Affan pada 5 Februari 2013
di BBC INDONESIA

------------------------------------------------
With Love
-Kaan Kahfi-

Silahkan jalan-jalan ke Tulisan Kaan Kahfi lainnya. Atas kunjungannya saya haturkan banyak terimakasih.

Kamis, 19 Januari 2012

Pahlawan Lingkungan, Abdul Rojak Telah Tiada

PERAIH penghargaan Kalpataru dari Presiden Suharto pada tahun 1987, Abdul Rojak (60) yang dijuluki sang manusia perkasa, warga Kampung Pesanggrahan, Desa Neglasari, Kec. Pancatengah, Kab. Tasikmalaya meninggal dunia akibat jatuh dari pohon kelapa, Minggu (17/1) siang sekitar pukul 02.00.

Kabar meninggalnya sang pahlawan lingkungan, membuat semua warga Pancatengah tak percaya. Tapi itulah kenyataanya, Abdul Rojak telah menghadap Sang Kuasa.

Kini masyarakat Tasikmalaya hanya bisa melihat hasil karya dan patungnya saja yang berdiri kokoh di tengah Alun-alun Tasikmalaya bersama wanita perkasa yang juga pejuang lingkungan Mak Eroh.

Karya terbesar Abdul Rojak yang tidak akan lekang oleh waktu, yakni mengubah Kampung Pesanggaran menjadi daerah subur dan makmur dengan dibangunnya saluran irigasi sepanjang 3 km. Irigasi itu melingkari dan menembus perbukitan (terowongan) sepanjang 200 meter.

Lebih dari 30 hektar sawah yang ada di Desa Neglasari bisa ditanami sepanjang musim. Padahal awalnya areal persawahan tersebut hanyalah sebuah sawah tadah hujan.

Itu adalah sebuah mahakarya seorang Abdul Rojak, meskipun awalnya banyak dicemooh warga dan disebutnya sebagai orang gila.

Saluran irigasi yang kini bisa mengairi sawah seluas 30 hektar tersebut dibangun Rojak selama enam tahun dengan menghabiskan ratusan pahat dengan biaya sekitar Rp 11 juta.

Mimpi untuk membuat saluran irigasi yang melingkari bukit terjal tersebut berawal pada tahun 1970 dengan memperkerjakan sebanyak 15 orang. Ke-15 warga itu pun bekerja siang malam.

Sebagai sumber dana untuk mewujudkan mimpinya, Rojak rela menjual semua harta miliknya termasuk kerbau dan kebun kelapa seluas 3 hektar hingga tak bersisa.

Hasil karya Rojak memang menakjubkan. Saluran air selebar satu meter dengan kedalaman 40 cm ini terpahat rapi di pinggang bukit. Berkelok-kelok sepanjang 3 km, lalu masuk ke perut bukit, berupa terowongan sepanjang 200 meter. Ujung saluran itu berhilir pada sebuah dam di Sungai Ciharuman, yang dibendung Rojak dengan 400 sak semen.

Semangat Rojak agar dirinya tetap bermanfaat bagi masyarakat banyak terus berkobar. Maka ia pun membuat jembatan bambu yang menghubungkan Pasanggrahan dengan Kec. Cimerak Kab. Ciamis. Bahkan dua tahun lalu, Ia sempat bermimpi untuk membangun kolam perikanan di Sungai Cikembang. Sayang, rencana itu belum terwujud.

“Kita sangat kehilangan oleh sosok Pak Abdul Rojak, karena jasanya banyak masyarakat yang merasakan dampaknya. Ia seorang pahlawan lingkungan yang pernah ada di Pancatengah,” ungkap Camat Pancatengah, Nana Suryana Senin (18/1) kemarin.

Nana berharap apa yang dirintis oleh Abdul Rojak semasa masih hidup bisa dilanjutkan oleh masyarakat lainnya termasuk hasil karyanya bisa dipelihara sehingga tetap bermanfaat bagi masyarakat.

“Harapan kami mudah-mudahan di Pancatengah ini lahir Abdul Rojak lainnya yang memiliki kepedulian terhadap masyarakat banyak,” tambahnya.


Ditulis oleh Duddy RS. pada 19 Januari 2010
di website nya: DUDDY.WEB.ID

-----------------------------------------------------
With Love
-Kaan Kahfi-

Silahkan jalan-jalan ke Tulisan Kaan Kahfi lainnya. Atas kunjungannya saya haturkan banyak terimakasih.

Rabu, 18 Januari 2012

Berkaca Pada Karya Anak Bangsa ini...

Tulisan berikut adalah pembuka blog Karya Anak Bangsa, dimana karya-karya kreatif, prestasi -prestasi dari anak bangsa Indonesia yang demikian banyaknya dan seolah-olah terpendam, akan diterbitkan di blog Karya Anak Bangsa ini. 

Saat kulihat video animasi karya anak bangsa Indonesia yang berjudul Lakon Pada Suatu Ketika...luar biasa hebat! Detail, Rumit tapi tetap "kena" dengan jalan ceritanya. Tanpa harus ada bantuan suara narasi seperti di sinetron-sinetron murahan. Karakternya, mimiknya, angle nya....wuihhh kereeen!!!! "Ga harus tuh...tampang di merengut-merengutin", laki-laki pake gincu, pemeran full bedak, kalau ga marah-marah yah nangis...standar India banget, seperti di sinetron-sinetron yang bertebaran di TV."

ans!!